Banyu, Pulpen, dan Kenangan


Ada banyak hal yang membuat Banyu begitu gelisah belakangan ini, salah satunya adalah tulisan tangannya yang kini tidak seindah dulu. Padahal ia sedang dapat banyak ide untuk novelnya. Ya, Banyu terbiasa menuliskan idenya di jurnal hariannya dahulu sebelum ia ketik di komputer. Agar lebih klasik dan otentik, sehingga nanti jika ada orang yang ingin lihat manuskrip hasil karyanya, Banyu bisa memperlihatkan jurnal tersebut. Tapi pulpen yang ia gunakan ini bikin Banyu kesal. Saking kesalnya, ia malah menulis tentang keluh kesahnya.

"Aku tidak mengerti dengan diriku, mengapa hal-hal kecil saja bisa bikin aku marah dan kesal? Bahkan bentuk pulpen yang terlalu ramping sehingga membuat aku tak nyaman menulis dan membut tulisanku jelek pun, bisa bikin aku marah. Ah, ganti pulpen saja lah. Lho, kok tetap tidak enak?
 Oh, merk-nya sama. Bentuknya pun sama. Hanya berbeda warna tinta saja. Kesal.
Duh, tulisanku masih jelek, kan? Ayolah pulpen, aku kan harus menulis. Aku harus menulis kenangan-kenanganku dengan Narendra, agar bisa kususun menjadi sebuah novel, novel yang indah. Ya, kenangan yang indah harus dimanifestasikan dalam sebuah karya yang indah pula bukan?
Ayolah Banyu, kamu harus lawan kegelisahanmu itu! 
Duh Tuhan, aku ingin pulpen yang lebih enak bisa tidak?"

Banyu berhenti menulis, lalu menghela napas. Ia tengadahkan kepalanya ke atas, langit biru terbentang luas di sana, berpadu dengan awan-awan putih yang indah bagaikan kapas.
Ah, dulu ia sering pergi ke rooftop rumahnya ini dengan Narendra di sore hari. Menengadahkan kepala ke atas, bersama-sama merasakan hembusan angin yang menerpa pipi mereka, dan menikmati birunya langit yang indah. Betapa menyenangkannya memori itu. Banyu tak dapat menepis rasa rindunya.

Aku tenggelam dalam genangan kenangan, Narendra. Tolong aku.

Comments

Popular Posts